POHON SAWO
17.35 | Author: dzar
Sebatang pohon Sawo itu telah membesar, kinipun telah berbuah beberapa butir. Udara yang sejuk, angin yang sepoi serta zat hara yang terkandung dibawah tanah dimana ia ditanamlah yang telah membesarkanya. Selain itu karena sentuhan tanganku yang senantiasa merawatnya dari gulma liar turut andil pada proses perkembanganya. Satu dua daunya jatuh menimpa rambutku yang sebahu. Pemandangan itu telah biasa, akupun telah hafal dengan prilaku dedaunan yang telah enggan melakukan fotosintesis. Bahkan helai-helai kelopak bunga berwarna putih seringkali menampar halus permukaan hidungku.

Lima tahu berlalu semejak lulus SMA. Kini aku telah berubah menjadi manusia beranjak dewasa. Proses pertumbuhan dan tempaan hidup yang begitu panjang. Dulu ketika SMA aku sering berseloroh jika waktu tiga tahun itu cepat. Sebaliknya yang terjadi selama ini begitu panjang, penuh perjuangan, dan sakit sekali. Sifatku yang dulu keras sedikit demi sedikit melapuk karena proses kehidupan. Kakiku yang dulu seolah paling kuat kini sedikit melemah karena telah lelah mengarungi jalanan yang sarat dengan pengalaman dan ilmu. Karakterku yang begitu kasar melarut bersama profesiku sebagai seorang guru TK. Lalu apakah ini pilihan hidupku? Kemana cita-cita yang dulu mengakar dijiwa, digembar-gemborkan oleh sepasang bibir dengan sebuah lidah yang tak bertulang. Upss. . . maafkan aku cita-citaku. Engkau begitu mudah pudar dan musnah seolah hanya menyangkut dikerongkongan tersiram oleh air dan berlalu. Bukan maksudku yang melupakanmu. Tetapi kemapuanku untuk bersekolah hanya sebegitu. Bersama awan yang berlalu, bersama buritan kapal dan bersama deburan ombak aku titip maafku yang terdalam untukmu cita-citaku.

Begitu juga dengan seseorang yang telah lama meninggalkanku. Saat kaki terayun meninggalkan gedung SMA cerita itu berakhir dan ia hilang tak berimba. Hanya sayatan-sayatan nama disetiap sudut pagar tembok sekolah terkadang mengenangya. Bersama dengan teman-teman seangkatan. Kiranya dirimu dimana? Pernah seekor burung menyampaikan berita bahwa engkau telah meninggal dunia, tetapi naluriku yang terdalam tak percaya. Walau jatuh bangun aku berusaha melupakan, menampik semua ceritera mengenai dirimu akhirnya aku tetap tak berdaya. Semakin aku melupakan seolah semakin tercekat dengn rasa betapa banyak waktu dan kenangan yang aku lewati bersama denganmu. Air muka yang tak beraturan sering terlukis ketika teringat hari-hari bersamamu yang terus terang tidak terlalu mengenakkan. Jika hal itu menggenangi seluruh perasaan layaknya badai aku segera mengangkat kursi rotan menuju bawah pohon sawo itu. Aku menceritakan semua padanya dengan kesedihan yang tersumbat dan sesak didada. “ Kemana engkau Fen?” Tanyaku selalu dalam sepi dan kesunyian.

Hening tanpa jawaban. Disebuah relung yang paling dalam, ingin aku mengamuk semua orang yang dekat denganku. Lalu apa salahnya? Apakah mereka akan perduli pada masalahku ini. Hanya diam, air mata, dan seribu kata-kata terpendam dalam dilubuk hati. Perih. . . baru aku merasa beginilah jika ingin bicara tanpa teman yang diajak mengadu. Lambaian tangan terakhir yang aku saksikan pada sebuah Bus lintas Sumatera. Itu bukanlah salahku. Jambi. . . Muara Bungo. Itu jarak yang sangat jauh, jangankan ingin kesana. Sudut kotanya saja aku tidak pernah membayangkan. Apa yang engkau lakukan disana wahai sahabat baikku? Itu semua bukan salahku. Engkaulah yang telah bersalah. Mengapa itu engkau lakukan pada Desy, terlalu dini jika engkau melakukan itu padanya. Apa yang berada diotakmu, mengerogotimu, hingga engkau sekejam itu. Pulanglah semua telah berlalu.

Saat berita itu berambus ketelingaku, shock. Benar saja? Aku tak mengira engkau sekejam itu melakukanya. Apakah perhatian yang aku berikan kepada hidupmu, kesehatan dan isi otakmu masih kurang? Mencontek, les Prifat yang aku berikan dan kau hanya memberikan aku imbalan dengan barang-barang yang dirasa tak berharga saat itu . Mengapa harus memiliki akhir yang dingin dan setragis ini? Fendy. . . kembalilah sahabatku! Lakukan kewajibanmu jika engkau telah menjadi orang. Kami dan terutama aku menatikanmu. Tak banyak yang bisa aku harapkan darimu selain pulang dan melakukan hal selayaknya pada kehidupan sekarang ini.
Desy menatap mataku sekejap. Bisu, suasana pagi ini masih senyap di pinggiran pintu kelas B-1. Desy membusungkan dadanya kearahku, sambil menggeser posisi pantat anak berumur lima tahun dua bulan.
“ Fredy. . . selamat pagi sayang?” Salamku kepada seorang anak yang kini berada digendonganku. Desy tersenyum tanda hatinya sedang bergembira.
“ Apa kabar Farah?” Ia kembali tersenyum dengan kedua lesung pipitnya
“ Baik Des. Sedang tidak sibuk ya? Biasanya yang antar Mas Gatot?” Tanyaku singkat
“ Iya. . . siEmas lagi ingin istirahat. Lagian hari Sabtu gini sedang nggak kerja dibiro Penjualan Tiket Bapak. Jadi aku antar Fredy, sekalian ketemu kamu. Kepengen curhat.” Ia tersenyum nakal kearahku. Masih seperti dulu ia memang sedikit genit, seperti ibunya yang cerai dengan ayahnya. Beberapa tahun yang lalu.
“ Oh. . . begitu? Boleh tapi pulangan kerja ya.” Kalimat berita aku ucapkan padanya dengan sedikit semangat. Fredy aku turunkan dari gendongan dan kuambil rangselnya kemudian aku letakkan pada loker merahnya. Suasana menjadi riuh ketika beranjak pukul tujuh tiga puluh pagi. . . anak-anak mulai berdatangan diantar orang tuanya dengan kendaraan yang berbeda-beda. Bahkan ada yang hanya berjalan kaki. Seperti kiranya aku dulu.

Sekitar pukul sebelas siang, kami berdua ( Desy dan aku ) duduk dengan kursi rotan dibawah pohon sawo yang sedikit rindang. Desy sempat membeli camilan kacang rebus tadi ketika aku bonceng dengan sepeda motor. Sedangkan anaknya dan pembantunya pulang dijemput suaminya yang baik serta dewasa sekali. Jika memandangnya ingin sekali aku memiliki pendamping seperti suami Desy itu. Tapi ah. . . bukankah jodoh ditangan Tuhan. Desy mulai membuka pembicaraan mengenai Fendy. Aku sudah menduga dari tadi pagi, itulah yang akan ia curhatkan padaku. Walau seperti mengoyak luka yang dalam tetapi aku berusaha tersenyum mengikuti irama dan gerak tubuhnya. Ia tak pernah berubah, masih selalu seperti ketika SMA. Berjingkrak-jingkrak jika sedang senang, dan memerah wajahnya jika merasa malu-malu.
“ Seperti apa dia sekarang ya Far?” Aku hanya tersenyum dalam. Karena akhir-akhir ini juga sering membayangkan betapa rindunya aku dengan sosok itu.
“ Kamu nggak inget? Waktu dia memarahimu ketika salah mengerjakan PR?” Desy kembali terbahak-bahak tanpa beban. Aku kembali ikut tertawa denganya.
“ Andai dia kembali, aku akan sangat bersedia sekali jika ia mengajak aku menikah.” Aku tersentak sampai-sampai kacang yang telah hancur dan akan kutelan tersedak akhirnya aku terbatuk-batuk. Secepat mungkin aku menguasai diriku. Dan menghentikan batukku.
“ Lalu Suami kamu?” Aku bertanya kepadanya
“ Ya. . . minta cerai aja. Gampangkan? Kamu fikir kami keluarga normal? Nggak Far. . . dia itu memperisteri aku sebagai isteri kedua, lagian ia Cuma mau perusahaan Papa yang dibidang property itu. Dari pada keduluan orang, kalau dia kembali kasih kabar aku duluan ya. Jadi aku bisa ngurus ceraiku secepatnya.” Nafasku benar-benar mandek, Kepalakupun seolah-olah berhenti berputar. Aku merasa telah mati dan benar-benar mati. Desy. . . ia anggap apa kehidupan ini? Ya. . . orang kaya memang selalu seperti itu. Tapi apakah kiranya semua orang berharta lebih akan berlaku seperti itu? Pohon sawo tolonglah jika engkau anggap aku salah jatuhkanlah helaian daunmu yang telah kering dan srek. . . sehelai daun sawo mulai mencoklat jatuh tepat diantara alisku. Hatiku mulai tenang dalam sepinya hidupku pohon sawo itu selalu menemaniku.

Fen. . . dimana kamu? Kembalilah banyak hal yang harus kamu selesaikan. Kembali!. . . berikan penjelasan yang membuat semuanya tenang!!!
Desy pulang sejak pukul enam sore setelah shalat ashar berjamaah denganku. Aku memasuki rumah kontrakanku yang sedari dulu menaungi kami entah mulai kapan? Yang jelas semenjak orang tuaku masih hidup semua, kami sudah meninggali rumah ini. Suasana ruang tamu masih bersih, karena aku jarang melakukan aktifitas berlebih diruang tamu. Badanku letih, kurebahkan badanku diatas kasur dan aku tertidur pulas sekali. . . rasanya malas memikirkan diriku yang semakin dirasakan semakin terobek-robek dan pedih.

Handphone-ku berbunyi. Aku buru-buru membukanya “ aku menunggumu dibawah pohon sawo. Cepatlah kemari!” kusibak tirai jendela tanpa teralis didepan mukaku. Aku tersentak bukan kepalang ,itu siapa? Dengan terburu-buru aku membuka pintu. Aku berlari-lari kecil untuk segera sampai dimana seseorang itu berdiri. Semakin kudekati ada persasaan yang ingin sekali melompat dan tertumpah. Aku sengaja menabraknya dan memeluknya erat sekali. Aku menagis, terlalu banyak hal yang ingin aku sampaikan denganya. Tetapi maaf. . . waktu tidak akan berbuat terlalu baik lagi kepadaku. Mengapa? Ketika aku sadari ia telah berubah dengan seragam cokelatnya berbalut title Bribda. Kulepaskan pelukan itu. Kemudian mundur beberapa langkah.
“ Maafkan aku, aku terlalu bahagia bisa melihatmu? Banyak hal yang aku curah pada waktu dengan sia-sia untukmu. Aku fikir harapan itu semu. Pohon sawo ini saksi bisu, engkau boleh menanyainya. Apa yang aku lakukan disetiap senja dengan kebisuanya.” Aku terhenti menghapus airmata yang membanjiri pipi
“ Gadis bodoh. Banyak bicara.” Ia merangkulku dengan erat.
“ Aku juga merinduimu. Terlalu lama untuk mewujudkan cita-cita. Hingga detik ini aku masih memikirkanmu. Makian, olokan, ejekan dan sindiran yang aku lontarkan padamu hanyalah kata kiasan dimana aku ingin mendapat perhatianmu. Mendapat tempat sempit difikiranmu untuk selalu menyita waktumu. Mengapa aku membencimu.” Dia tersenyum manis sekali. Senyuman itu kurindui semenjak lima bahkan enam tahun ini
“ Tapi mengapa engkau pergi Fen?”
“ Kamu tak percaya padaku? Bukankah engkau tau semua tentang aku? Mengapa engkau lebih mempercayai Desy ketimbang aku?” Aku hanya menggeleng berat
“ Anak didalam kandunganya itu. Bukan anakku, aku akan buktikan dengan tes DNA. Mulai sekarang aku akan bertanggung jawab. Karena aku bukan anak kecil yang sedang mencari jati diri. Apapun yang terjadi aku akan melakukan yang terbaik. Aku tidak akan membuatmu menangis dalam sendiri, karena kau simpan perasaanmu sendiri. Apakah kiranya kau berjanji akan mendukungku?” Aku menganguk mantap.
Tiba-tiba berlembar-lembar warna putih-putih berjatuhan. Tak lain adalah bunga sawo yang terinjak oleh kelelawar diatas dahan. Terimakasih Pohon sawo, berjanjilah engkau akan mendukungku. Kamipun berjanji akan menjagamu seperti menjaga hati kami.
This entry was posted on 17.35 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: